“Suatu Warisan Bagi Allah”

BACAAN KELUARGA 2025: MAHKOTA KEHORMATAN

Bacaan 6, Sabat 17 Mei 2025

Bacaan ini mengandung pelajaran yang mungkin sering terlewatkan. Untuk memastikan kejelasan tentang topik ini, saya ingin memulainya dengan bertanya: Apa artinya menjadi seorang hamba? Mohon luangkan waktu sejenak untuk membagikan jawabanmu terlebih dahulu sebelum membaca bacaan ini lebih lanjut.

Dengan senang hati saya menyampaikan salam “kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.” 1 Korintus 1:2, 3.

Kita dapat menyimpulkan bahwa seorang hamba atau pelayan adalah seseorang yang mengelola harta milik orang lain. Meskipun ini adalah definisi yang ringkas, mari kita bahas lebih dalam lagi. Menurut Roh Nubuat dinyatakan, “Apa yang menjadi dasar integritas dalam segala urusan hidup dan kesuksesan sejati adalah pengakuan kepemilikan Allah. Sebagai Pencipta segala sesuatu, Dia adalah pemilik asli. Kita adalah hamba-Nya, pelayan-Nya. Semua yang kita miliki adalah amanah dari-Nya, untuk digunakan sesuai dengan petunjuk-Nya. […] Entah kita menyadarinya atau tidak, kita adalah hamba, yang dibekali oleh Allah dengan bakat dan fasilitas dan ditempatkan di dunia untuk melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh-Nya.

“Uang bukan milik kita; rumah dan tanah, berbagai hiasan dan perabotan, pakaian dan barang mewah, bukan milik kita. Kita adalah peziarah, kita adalah orang asing. Kita hanya memiliki sedikit hak yang diperlukan untuk kesehatan dan kehidupan…. Berkat-berkat duniawi kita diberikan kepada kita sebagai amanah, untuk membuktikan apakah kita memang dapat dipercayakan dengan kekayaan yang kekal atau tidak.” –The Adventist Home, hlm. 367.

Dengan pemahaman ini, bacaan selanjutnya akan lebih mudah dipahami.

Segala Sumber Daya adalah Berasal dari Allah

Sejak Adam hingga saat ini, telah Allah mengklaim kepemilikan-Nya atas manusia. Segala sesuatu yang kita miliki adalah hasil dari kemurahan hati-Nya yang ilahi. Kita harus mempersembahkan buah sulung, persepuluhan, dan persembahan kita kepada Allah sebagai pengakuan atas kedaulatan-Nya.

Ada tanggung jawab yang sering kali diabaikan oleh banyak orang yang mengaku beriman teguh. Hal ini terjadi ketika mereka mendekati akhir masa percobaan dan memilih untuk membuang-buang ataupun mempergunakan dengan sia-sia aset mereka—rumah, tanah, uang, dll.—dengan cara yang tidak memuliakan Allah.

Tata cara berikut membahas tentang persoalan ini: “Ada orang-orang yang telah berusia lanjut di antara kita yang hampir mendekati akhir masa percobaan mereka; tetapi karena orang-orang yang benar-benar sadar tidak dapat mengamankan sarana yang mereka miliki untuk tujuan Allah, sarana itu kemudian malah jatuh ke tangan orang-orang yang melayani Setan. Sarana ini hanya dipinjamkan kepada mereka oleh Allah untuk dikembalikan kepada-Nya; tetapi dalam sembilan dari sepuluh kasus saudara-saudara ini, ketika meninggalkan panggung kehidupan, mengambil harta milik Allah dengan cara yang tidak dapat memuliakan-Nya, karena tidak satu dolar pun darinya akan mengalir ke perbendaharaan Allah. […] Harta benda sering kali diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu hanya untuk merugikan mereka. Mereka tidak memiliki kasih kepada Allah atau kebenaran, dan karena itu sarana ini, yang semuanya sebenarnya adalah milik Allah, malah masuk ke dalam perbendaharaan Setan, untuk dikendalikan olehnya. Setan jauh lebih waspada, berpandangan tajam, dan terampil dalam merancang cara-cara untuk mengamankan sarana bagi dirinya sendiri daripada saudara-saudara kita dalam mengamankan milik Allah bagi pekerjaan-Nya. […] Saudara-saudara kita hendaknya merasakan bahwa suatu tanggung jawab telah terletak di pundak mereka, sebagai hamba-hamba yang setia dalam perkara Allah, untuk menggunakan akal budi mereka berkenaan dengan perkara ini, dan mengamankan kepada Allah milik kepunyaan-Nya sendiri.” –Testimony Treasures, jilid 1, hlm. 556.

“Orang yang ingin menenangkan hati nuraninya dengan mewariskan hartanya kepada anak-anaknya, atau dengan menahankan milik Allah bagi pekerjaan-Nya dan membiarkannya malah jatuh ke tangan anak-anak yang tidak percaya dan sembrono untuk dihambur-hamburkan atau ditimbun dan disembah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada Allah. Mereka adalah hamba yang tidak setia atas harta Allah mereka.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 118.

Kutipan dari Ellen G. White, seperti yang satu ini, bisa menyakitkan dan tidak mengenakkan, karena kutipan tersebut seakan mengarahkan kita untuk memprioritaskan gereja di atas keluarga kita. Akan tetapi, penting untuk menganalisis beberapa aspek hukum warisan yang dirujuk Ellen G. White dalam tulisan-tulisannya.

Unsur-unsur Hukum Waris

Mari kita telaah secara singkat beberapa aspek hukum warisan sebagaimana diterapkan pada umat Israel.

a. Harta Warisan adalah milik Allah

Elemen utama dari hukum warisan adalah bahwa Allah adalah pemilik aslinya, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.”; “Punya-Mulah langit, punya-Mulah juga bumi, dunia serta isinya Engkaulah yang mendasarkannya (adalah milik-Mu juga).”; “Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman TUHAN semesta alam.” Mazmur 24:1; 89:12; Hagai 2:9. “Kita hanyalah Hamba Allah; uang yang masuk ke tangan kita bukanlah milik kita. Dalam penyalurannya, kita harus menjadi rekan sekerja Yesus Kristus.” –This Day With God, hlm. 349.

Sekalipun kita mencapai sesuatu melalui kerja keras atau perjuangan, pada akhirnya itu adalah karunia dari Allah. Oleh karena itu, ” sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan,” (Pengkhotbah 12:2), kita harus mengarahkan aset kita untuk pekerjaan Allah, karena semuanya adalah milik-Nya. “Segala sesuatu adalah milik Allah. Semua kemakmuran yang kita nikmati adalah hasil dari kebaikan Allah. Allah adalah Pemberi yang besar dan berlimpah.” –Testimonies for the Church, jilid 4, hlm. 476.

b. Warisan itu bersyarat

Pada zaman Alkitab, pewaris utama biasanya adalah anak sulung, yang menjadi kepala keluarga, mewarisi dua kali lipat dari saudara-saudaranya, dan menerima berkat khusus. Perjanjian Lama juga menyajikan dua anak sulung—Esau dan Ruben—yang kehilangan hak mereka atas warisan karena ketidaksetiaan mereka (Kejadian 25:27-34; 49:4). Selain itu, warisan dapat disia-siakan, sebagaimana dalam kisah anak yang hilang.

Syarat-syarat untuk menerima warisan terutama berkisar pada kesetiaan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Spanyol menguraikan alasan-alasan khusus (seperti penelantaran, penganiayaan, dan cedera) untuk mencabut hak waris seseorang. Namun demikian, beberapa orang menganut pendapat ini, “Apakah ia akan menyerahkan sarana yang telah dipinjamkan Allah kepadanya untuk digunakan dalam perkara-Nya, ke tangan orang-orang fasik, hanya karena mereka adalah kerabatnya? […] Mereka tidak memiliki kasih kepada Allah atau kebenaran, dan oleh karena itu sarana ini, yang semuanya adalah milik Allah, malah masuk ke dalam perbendaharaan Setan, untuk dikendalikan olehnya.”  –Testimony Treasures, jilid 1, hlm. 556.

c. Warisan tidak boleh meninggalkan suku

Bilangan 36:9 menyatakan, “Sebab milik pusaka itu tidak boleh beralih dari suku ke suku, tetapi suku-suku orang Israel haruslah masing-masing memegang milik pusakanya sendiri.” Tujuan dari perintah ini adalah untuk melindungi warisan tiap suku dan memastikan bahwa warisan itu menguntungkan penerima aslinya.

Ketika Ellen G. White menyatakan bahwa “dengan mewariskan harta mereka kepada anak-anak mereka, atau dengan menahan diri dari pekerjaan Allah dan membiarkannya jatuh ke tangan anak-anak yang tidak percaya dan sembrono untuk mereka sia-siakan atau timbun dan sembah,” ia menyarankan bahwa warisan hendaknya jangan diberikan kepada barangsiapa yang berada di luar komunitas iman dan tidak akan tetap bersama umat Allah.

Mengambil harta yang telah dipercayakan Allah kepada seseorang adalah kesalahan yang sangat serius. Banyak orang memahami prinsip-prinsip kebenaran, tetapi mereka gagal menjadikan Firman Allah sebagai pembimbing mereka. Apa yang menjadi milik Suku (Jemaat) Allah telah sering kali dialihkan kepada suku-suku lain. Sebagai pembaharu, adalah tugas kita untuk mengelola aset kita sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah, daripada mengikuti sistem yang dirancang oleh musuh.

d. Anak-anak Gundik Tidak Menerima Warisan

Dapatkah saya memilih untuk tidak meninggalkan warisan kepada anak, cucu, atau saudara saya? Jangan merasa tertekan untuk melakukannya; pahamilah alasan Allah memberikan pedoman ini. Ketahuilah bahwa akan tiba saatnya “pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk (menundukkan diri)” Pengkhotbah 12:3. Sebelum waktu itu tiba, ada petunjuk yang jelas dari Allah untuk engkau ikuti.

Anak-anak gundik tidak menerima warisan, tetapi mereka tidak ditelantarkan; mereka pun menerima hadiah ataupun pemberian. Kejadian 25:6 menyatakan: “Tetapi kepada anak-anaknya yang diperolehnya dari gundik-gundiknya ia memberikan pemberian; kemudian ia menyuruh mereka pergi.” Ishak, anak yang sah, adalah ahli waris Abraham, dan melalui dia akan datang janji-janji perjanjian, tanah ataupun negeri untuk didiami, dan bahkan Kristus sendiri. Namun, Abraham memberikan pemberian kepada anak-anak yang dimilikinya dengan gundiknya untuk memastikan mereka dapat hidup stabil.

Anak-anak Kristen Pembaharuan kita bukanlah anak-anak gundik. Sayangnya, dan dengan sangat menyedihkannya, banyak anak yang tidak mengikuti jejak orang tua mereka ataupun tidak menjadikan Kristus sebagai Juruselamat mereka. Namun, ini seharusnya tidak membenarkan alasan untuk meninggalkan mereka tanpa hadiah dan pemberian. Ellen G. White menulis: “Jika orang tua, selagi mereka hidup, mau membantu anak-anak mereka untuk dapat menopang diri mereka sendiri, akan lebih baik daripada meninggalkan mereka bantuan dalam jumlah besar saat meninggal.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 122.

Warisan itu adalah milik umat perjanjian (jemaat), tetapi Allah menetapkan syarat-syarat bagi anak-anak untuk menerima karunia-karunia ataupun pemberian: “Selama mereka memiliki pikiran yang sehat dan pertimbangan yang baik, orang tua harus […] mengatur harta mereka. Jika mereka memiliki anak-anak yang menderita atau berjuang dalam kemiskinan, dan yang akan menggunakan sarana ataupun harta dengan bijaksana, maka mereka harus diperhatikan. Tetapi jika mereka memiliki anak-anak yang tidak percaya yang memiliki kelimpahan dunia ini, dan yang melayani dunia, maka mereka melakukan dosa terhadap Tuhan, yang telah menjadikan mereka penatalayan-Nya, bila menempatkan sarana atau harta di tangan mereka hanya karena mereka adalah anak-anak mereka.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 121.

e. Warisan kepada Kerabat Terdekat

Prinsip ini diuraikan dalam Bilangan 27:8-11: “Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan. Apabila ia tidak mempunyai anak perempuan, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudaranya yang laki-laki.  Dan apabila ia tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudara lelaki ayahnya. Dan apabila ayahnya tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada kerabatnya yang terdekat dari antara kaumnya, supaya dimilikinya.” Itulah yang harus menjadi ketetapan hukum bagi orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa.”

Ada hubungan timbal balik dengan kerabat atau kaum yang terdekat keluarga yang menjadi penebusnya, dalam Imamat 25:25. Kerabat atau kaum terdekat keluarga ini bertanggung jawab untuk menebus barang dan bahkan seseorang. Kitab Rut juga menceritakan kisah tentang sanak atau kerabat terdekat ini. Allah adalah kaum kerabat terdekat umat-Nya; Dialah yang telah menebus mereka, menyediakan penebusan yang sempurna karena harga yang dibayarkan sudah lunas. Para penatua yang tidak memiliki anak atau saudara harus menyerahkan harta mereka kepada kerabat terdekatnya, maka demikian Dialah yang menebus hidupmu. Mereka harus memahami bahwa “kehendak Allah yang harus didahulukan. […] Sebelum sebagian dari penghasilan kita digunakan, maka kita harus memisahkan dahulu dan mempersembahkan kepada-Nya bagian yang Dia kehendaki.” –Testimonies for the Church, jilid 4, hlm. 477.

Tentang saudara atau sahabat terdekat ini telah dinyatakan juga bahwa “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” Markus 3:35.

Itu adalah Hal yang Suci

Topik ini dapat menimbulkan reaksi defensif dan dapat membuat beberapa orang merasa marah ataupun tidak terima, karena sering kali diyakini bahwa Jemaat ingin mengklaim harta mereka. Namun, penting untuk menyampaikannya sebagai masalah “Ada tertulis” atau “demikianlah firman Tuhan.” Tulisan Ellen G. White juga menangkap esensi ataupun inti dari prinsip-prinsip seputar hukum warisan.

Beberapa orang menghindari membahas hal ini, sementara yang lain mungkin merujuk kepada mereka yang seperti, “pohon badam berbunga (akan tumbuh subur)” Pengkhotbah 12:5, menggunakan eufemisme (ungkapan untuk memperhalus penyampaian) untuk menghindari menyinggung perasaan. E. G. White menyatakan, “Banyak yang menunjukkan kehati-hatian yang tidak perlu pada hal ini. Mereka merasa bahwa mereka bagai menginjak tanah terlarang ketika mereka memperkenalkan pelajaran tentang harta kepada orang tua atau orang cacat untuk mempelajari disposisi atau keputusan apa yang ingin mereka buat terhadapnya. Tetapi tugas ini adalah sama sakralnya dengan tugas untuk mengkhotbahkan firman untuk menyelamatkan jiwa.” –Testimony Treasures, jilid 1, hlm. 556.

Tidak perlu ragu untuk membahas hal ini karena musuh pun tidak ragu untuk menuntun anak-anak Allah untuk:

1. Menyatakan bahwa segala sesuatu yang mereka miliki adalah milik-Nya, seolah-olah mereka memperoleh harta benda mereka semata-mata melalui usaha mereka sendiri.

2. Menaruh harta benda mereka di tangan anak-anak mereka: “Tetapi banyak orang yang menaruh harta benda mereka di tangan anak-anak mereka, sehingga melemparkan tanggung jawab pengelolaan mereka sendiri kepada anak-anak mereka, karena Setan mendorong mereka untuk melakukannya.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 118.

3. Mengabaikan tuntutan Tuhan atas segala yang mereka miliki, dan malah melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang membinasakan bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka yang terkasih. “Uang yang diwariskan kepada anak-anak sering kali menjadi akar kepahitan. […] Dan sarana ataupun harta yang diwariskan ini kebanyakan bukannya membangkitkan rasa syukur dan hormat dengan mengingat kenangan yang terkait dengannya, sarana ataupun harta itu justru menciptakan ketidakpuasan, gerutu, iri hati, dan rasa tidak hormat. Saudara dan saudari yang sebelumnya berdamai satu sama lain terkadang menjadi berselisih, dan pertikaian keluarga sering kali merupakan akibat dari harta kekayaan yang diwariskan.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 121.

Suatu Petunjuk Singkat

Mazmur 71 seringkali disebut sebagai doa orang tua, di mana Daud memohon kepada Allah agar tidak meninggalkannya. Daud mengamati bahwa banyak orang tua di sekitarnya yang ditinggalkan dan menjadi sasaran ejekan dan aib. Renungkanlah Mazmur 71:9, 17, dan 18. Seruan ini mencerminkan keprihatinan yang sama yang dialami banyak orang tua di Jemaat saat ini. Jemaat berkewajiban untuk merawat mereka yang telah mengabdikan hidup mereka kepada Jemaat selama bertahun-tahun, dengan memberi mereka masa tua yang bermartabat dan terhormat. Meskipun sudah lelah dan tidak mampu, mereka harus diperlakukan dengan kasih dan rasa hormat yang lembut.

Bertindak sebagai Pengurus yang Setia

Waktunya pasti akan tiba ketika “rantai perak diputuskan, […] dan debu kembali menjadi tanah…” Pengkhotbah 12:6, 7. Sangat penting untuk menasihati orang Kristen bahwa “Orang Kristen […] tidak boleh mengabaikan tentang hal penggunaan harta mereka, […] mereka harus memiliki usaha yang sedemikian rupa sehingga, jika mereka dipanggil pada saat apa pun untuk meninggalkannya, dan jika mereka tidak memiliki suara dalam pengaturannya, itu dapat diselesaikan seperti yang mereka inginkan jika mereka masih hidup. […] Kelalaian di pihak mereka untuk menjawab panggilan pekerjaan Allah dalam meneruskan pekerjaan-Nya menunjukkan bahwa mereka sebagai hamba yang tidak setia dan malas.” –Testimonies for the Church, jilid 3, hlm. 117.

Jangan abaikan hal yang penting ini. Jangan mencari alasan untuk membenarkan keserakahan di hatimu dengan mengklaim bahwa telah dibuat pengaturan untuk menggunakan sumber dayamu untuk tujuan amal. Mengembalikan hanya sebagian kecil dari apa yang telah Allah percayakan kepadamu adalah suatu bentuk pencurian. Engkau menahan dari Allah apa yang menjadi milik-Nya sehingga berhutang kepada-Nya, tidak hanya dalam hidup, tetapi juga dalam kematian. Marilah kita berusaha untuk mengumpulkan harta di surga, karena “di mana harta kita berada, di situ juga hati kita berada.” (Matius 6:21). Amin.

* * * * *

BACAAN KELUARGA 2025: MAHKOTA KEHORMATAN