“MENYEBERANG LAUT MERAH”

Bacaan 4 Minggu Sembahyang 2025 “DARI MESIR KE KANAAN (PERJALANAN BANGSA ISRAEL)

Dibacakan pada Selasa, 9 Desember 2025

MENYEBERANG LAUT MERAH

(G. Gowie, Jamaika)

Sejarah anak-anak Israel mengajarkan kita tentang kepedulian Allah yang mendalam terhadap umat-Nya. Cara yang Dia pergunakan untuk menghadapi mereka menunjukkan apa yang akan terjadi kepada kita ketika kita mengizinkan Dia membimbing kita.

Peristiwa penyeberangan Laut Merah adalah salah satu peristiwa paling dramatis dan penting yang terjadi dalam sejarah bangsa Yahudi. Peristiwa ini juga merupakan titik penentu dalam Alkitab, yang menggambarkan campur tangan, pembebasan, dan kasih Allah yang besar bagi umat-Nya. Peristiwa ini dicatat dalam Keluaran 14. Pasal ini hendaknya dibaca terutama oleh umat Allah yang sedang hidup di akhir zaman, tepat sebelum kedatangan Tuhan kita yang kedua kali, karena Dia pun telah berjanji untuk memerdekakan umat-Nya dari dunia yang berdosa ini (yang dilambangkan dengan Mesir) dan membawa mereka ke Kanaan surgawi.

PERBUDAKAN DAN KEMERDEKAAN

Selama lebih dari dua abad, keturunan Yakub (anak-anak Israel) tinggal di Mesir, awalnya disambut oleh Firaun. Dalam waktu yang relatif singkat, populasi Israel membengkak, sampai-sampai dianggap sebagai ancaman. Perbudakan brutal diberlakukan kepada mereka, termasuk kondisi yang keras dan penindasan yang hebat. Roh Nubuat menyatakan: “Bangsa Israel telah menjadi sangat banyak; mereka ‘beranak cucu dan tak terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan dengan dahsyat berlipat ganda, sehingga negeri itu dipenuhi mereka.’ Kel 1:7.

Di bawah asuhan Yusuf, dan dukungan raja yang saat itu berkuasa, mereka menyebar dengan cepat ke seluruh negeri. Namun, mereka tetap menjadi ras yang berbeda, tidak memiliki kesamaan apa pun dengan orang Mesir dalam adat istiadat maupun agama; dan jumlah mereka yang terus bertambah kini membangkitkan kekhawatiran raja dan rakyatnya, jangan-jangan, jika terjadi perang, mereka akan bergabung dengan musuh-musuh Mesir. Namun, kebijakan melarang pengusiran mereka dari negeri itu. Banyak dari mereka adalah pekerja yang cakap dan bijaksana, dan mereka sangat menambah kekayaan bangsa; raja membutuhkan pekerja-pekerja seperti itu untuk membangun istana dan kuil-kuilnya yang megah. Oleh karena itu, ia menggolongkan mereka dengan orang-orang Mesir yang telah menjual diri mereka dengan harta benda mereka kepada kerajaan. Tak lama kemudian, mandor-mandor diangkat atas mereka, dan perbudakan mereka pun berakhir. ‘Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu.’ ‘Tetapi makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang mereka.’ (Keluaran 1:13-14, 12) …” —Patriarchs and Prophets, hlm. 241.

Tuhan menanggapi penderitaan mereka dengan memanggil Musa, setelah selama empat puluh tahun ia mendapat pelatihan rohani di padang gurun. Dengan menampakkan diri kepadanya di semak belukar yang menyala-nyala, Tuhan mengutus Musa untuk ke Mesir dan atas nama-Nya, memerintahkan Firaun untuk membiarkan umat-Nya pergi dengan bebas. Firaun mengeraskan hatinya dan menolak melakukan hal ini, sehingga Allah mengirimkan sepuluh tulah ke Mesir. Setelah tulah terakhir yang paling dahsyat—yakni kematian anak sulung di seluruh negeri Mesir—maka Firaun mengaku kalah, dan bangsa Israel diizinkan meninggalkan Mesir. Mereka pergi dengan harapan yang besar, yakni berharap akan kehidupan yang lebih baik. Mereka menuju ke negeri yang berlimpah susu dan madunya. Mereka akhirnya terbebas. Mereka pun dapat menyerukan seruan Martin Luther King, Jr.: “Akhirnya terbebas! Akhirnya dimerdekakan! Syukur kepada Tuhan, akhirnya kita bebas!”

DI LAUT MERAH

Dipimpin oleh Musa di bawah tangan Allah, bangsa Israel meninggalkan Mesir dan melakukan perjalanan menuju Laut Merah. Itu adalah jalan yang tampak tidak logis dari perspektif militer. Kita mungkin bertanya, Mengapa Allah memimpin mereka ke tempat ini? Bukankah ada rute yang lebih baik? Hamba Tuhan, Str EG. White, menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam kutipan berikut: “Gantinya menempuh rute langsung ke Kanaan, yang melewati negeri orang Filistin, Tuhan justru mengarahkan perjalanan mereka ke selatan, menuju pantai Laut Merah. ‘Karena Allah berfirman, Supaya jangan bangsa itu menyesal ketika mereka melihat perang, lalu mereka kembali ke Mesir.’ Seandainya mereka mencoba melewati Filistia, maka perjalanan mereka akan terhambat; karena orang Filistin, yang menganggap mereka sebagai budak yang melarikan diri dari tuan mereka, tidak akan ragu untuk berperang melawan mereka. Bangsa Israel kurang siap menghadapi bangsa yang kuat dan suka berperang itu. Mereka (bangsa Israel) baru hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang Tuhan dan sedikit iman kepada-Nya, sehingga mereka akan menjadi takut dan patah semangat. Mereka tidak bersenjata dan tidak terbiasa berperang, semangat mereka pun telah tertekan oleh perbudakan yang panjang, dan mereka dibebani dengan perempuan dan anak-anak, kawanan ternak dan domba. Dengan memimpin mereka melalui Laut Merah, Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang penuh belas kasihan sekaligus maha penghakiman.” —Patriarchs and Prophets, hlm. 282.

Allah sedang memimpin umat-Nya agar mereka dapat mengenal kuasa dan kasih-Nya yang besar, dan pemeliharaan-Nya.

Dalam salah satu bagian nubuat Yesaya yang paling indah dan menghibur, disebutkan tentang tiang awan dan api untuk melambangkan pemeliharaan Allah bagi umat-Nya dalam pergumulan terakhir yang besar melawan kuasa jahat: ‘TUHAN akan menjadikan (menciptakan) di atas seluruh wilayah gunung Sion dan di atas setiap pertemuan yang diadakan di situ segumpal awan pada waktu siang dan segumpal asap serta sinar api yang menyala-nyala pada waktu malam, sebab di atas semuanya itu akan ada kemuliaan TUHAN sebagai tudung dan sebagai pondok tempat bernaung pada waktu siang terhadap panas terik dan sebagai perlindungan dan persembunyian terhadap angin ribut dan hujan.’ Yesaya 4:5, 6.

Mereka berjalan melintasi hamparan gurun yang nampak suram. Mereka mulai bertanya-tanya ke mana arah perjalanan mereka; mereka mulai lelah dengan perjalanan yang melelahkan, dan beberapa hati mulai dipenuhi rasa takut akan pengejaran orang Mesir. Namun awan itu terus bergerak maju, dan mereka pun mengikutinya. Kini Tuhan memerintahkan Musa untuk berbelok ke tempat yang berbatu-batu dan berkemah di tepi laut. Juga dinyatakan kepadanya bahwa Firaun akan mengejar mereka, tetapi Allah akan dimuliakan dengan pembebasan mereka….

“Allah, dalam pemeliharaan-Nya, membawa orang-orang Ibrani ke daerah pegunungan yang terlindung di depan laut, agar Dia dapat menyatakan kuasa-Nya dalam pembebasan mereka dan secara nyata merendahkan kesombongan para penindas mereka. Dia bisa saja menyelamatkan mereka dengan cara lain, tetapi Dia memilih cara ini untuk menguji iman mereka dan memperkuat kepercayaan mereka kepada-Nya.” —Patriarchs and Prophets, hlm. 283, 290.

Tak lama setelah bangsa Israel meninggalkan Mesir, hati Firaun kembali mengeras; ia mempertimbangkan kembali keputusannya untuk membiarkan bangsa itu pergi. Ia mengumpulkan pasukan kereta perang elitnya dan mengejar bangsa Israel, berniat menangkap dan membawa mereka kembali ke perbudakan. Ia menemukan bangsa Israel di tepi Laut Merah dan hendak menjebak mereka dengan pasukannya yang perkasa dari belakang.

“‘Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN, dan mereka berkata kepada Musa: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.” Tetapi berkatalah Musa kepada bangsa itu: “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.” (Keluaran 14:10-14).” —The Spirit of Prophecy, vol. 1, hlm. 206.

Umat ​​Allah pada dasarnya terjebak di antara iblis dan lautan biru yang dalam. Ke mana mereka bisa pergi? Dalam situasi berbahaya seperti ini, sangatlah sulit untuk tidak takut, untuk tetap diam, dan untuk tetap tenang. Dalam pemahaman manusia, inilah saatnya untuk bertindak, untuk melindungi dan membela diri. Saudara-saudari terkasih di dalam Tuhan, ketika kita menghadapi situasi seperti ini, berarti Tuhan sedang mengajar kita untuk percaya kepada-Nya.

MEMBELAH LAUT MERAH

Di dalam keputusasaan dan kepanikan, bangsa Israel berpaling kepada Musa dan berteriak. Mereka tidak melihat adanya jalan keluar. Pasukan Firaun mengancam mereka dari belakang, dan laut menghalangi jalan mereka di depan. Di saat kritis itu, Musa mengucapkan kata-kata penghiburan, mendorong umat untuk percaya pada kuasa Tuhan untuk menyelamatkan mereka.

“‘Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Mengapakah engkau berseru-seru demikian kepada-Ku? Katakanlah kepada orang Israel, supaya mereka berangkat. Dan engkau, angkatlah tongkatmu dan ulurkanlah tanganmu ke atas laut dan belahlah airnya, sehingga orang Israel akan berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering.’ (Keluaran 14:15-16). Allah ingin Musa mengerti bahwa Ia hendak berkarya untuk umat-Nya—bahwa kebutuhan mereka akan menjadi suatu kesempatan bagi-Nya. Bahwa mereka harus pergi sejauh yang mereka bisa yakni berupaya yang terbaik sebisa mereka, ia (Musa) pun harus meminta mereka untuk terus maju; bahwa ia harus menggunakan tongkat yang telah Allah berikan kepadanya untuk membelah air.” —The Spirit of Prophecy, vol. 1, hlm. 207.

Allah kemudian memerintahkan Musa untuk merentangkan tongkatnya ke atas laut. Saat Musa melakukannya, angin kencang mulai bertiup; air Laut Merah terbelah secara ajaib, membentuk dua dinding air yang menjulang tinggi di setiap sisi dan sebuah jalan setapak di tengahnya. Bangsa Israel dapat berjalan di dasar laut, dengan dinding air yang menjulang di kedua sisinya.

“‘Kemudian bergeraklah Malaikat Allah, yang tadinya berjalan di depan tentara Israel, lalu berjalan di belakang mereka; dan tiang awan itu bergerak dari depan mereka, lalu berdiri di belakang mereka. Demikianlah tiang itu berdiri di antara tentara orang Mesir dan tentara orang Israel; dan oleh karena awan itu menimbulkan kegelapan, maka malam itu lewat, sehingga yang satu tidak dapat mendekati yang lain, semalam-malaman itu.’ (Keluaran 14:19-20).

“Orang Mesir tidak dapat melihat orang Ibrani; karena awan kegelapan yang pekat ada di hadapan mereka, yang merupakan terang bagi orang Israel. Demikianlah Allah menunjukkan kuasa-Nya untuk menguji umat-Nya, apakah mereka mau percaya kepada-Nya setelah memberikan tanda-tanda pemeliharaan dan kasih-Nya kepada mereka, dan untuk menegur ketidakpercayaan dan gerutuan mereka. ‘Lalu Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering; maka terbelahlah air itu. 22 Demikianlah orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.’ (Keluaran 14:21-22). Airnya naik dan membeku seperti dinding pada kedua sisinya, sementara orang Israel berjalan di tengah laut di tanah kering.

“Tentara Mesir merasa menang pada malam itu karena anak-anak Israel tampaknya kembali berada dalam kekuasaan mereka. Mereka pikir mustahil mereka bisa lolos; karena di depan mereka terbentang Laut Merah, dan pasukan mereka yang besar sudah dekat di belakang. Pagi harinya, ketika mereka sampai di laut, tampaklah sebuah jalan kering, airnya terbagi dan berdiri seperti tembok di kedua sisinya, dan bangsa Israel sudah setengah jalan mengarungi laut, berjalan di atas tanah kering. Mereka menunggu beberapa saat untuk memutuskan arah mana yang sebaiknya mereka tempuh. Mereka kecewa dan murka karena, ketika orang-orang Ibrani hampir berada dalam kekuasaan mereka, dan mereka yakin akan hal itu, sebuah jalan tak terduga terbuka bagi mereka di laut. Mereka memutuskan untuk mengikuti orang-orang Ibrani. ‘Orang Mesir mengejar dan menyusul mereka–segala kuda Firaun, keretanya dan orangnya yang berkuda–sampai ke tengah-tengah laut. Dan pada waktu jaga pagi, TUHAN yang di dalam tiang api dan awan itu memandang kepada tentara orang Mesir, lalu dikacaukan-Nya tentara orang Mesir itu. Ia membuat roda keretanya berjalan miring dan maju dengan berat, sehingga orang Mesir berkata: “Marilah kita lari meninggalkan orang Israel, sebab Tuhanlah yang berperang untuk mereka melawan Mesir.” (Keluaran 14:23-25).’

“Orang Mesir berani mengambil risiko di jalan yang telah Tuhan persiapkan bagi umat-Nya, dan para malaikat Tuhan melewati pasukan mereka dan melepaskan roda-roda kereta perang mereka. Mereka terkena tulah. Kemajuan mereka sangat lambat, dan mereka mulai gelisah. Mereka teringat akan penghakiman yang telah ditimpakan Tuhan orang Ibrani kepada mereka di Mesir, untuk memaksa mereka membiarkan Israel pergi, dan mereka berpikir bahwa Tuhan mungkin akan menyerahkan mereka semua ke tangan orang Israel. Mereka pun menyimpulkan bahwa Tuhan sedang berperang untuk orang Israel, dan mereka sangat takut, dan hendak berbalik untuk melarikan diri dari mereka, ketika ‘Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Ulurkanlah tanganmu ke atas laut, supaya air berbalik meliputi orang Mesir, meliputi kereta mereka dan orang mereka yang berkuda.” Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, maka menjelang pagi berbaliklah air laut ke tempatnya, sedang orang Mesir lari menuju air itu; demikianlah TUHAN mencampakkan orang Mesir ke tengah-tengah laut. Berbaliklah segala air itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka. Tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut, sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka. Demikianlah pada hari itu TUHAN menyelamatkan orang Israel dari tangan orang Mesir. Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut. Ketika dilihat oleh orang Israel, betapa besarnya perbuatan yang dilakukan TUHAN terhadap orang Mesir, maka takutlah bangsa itu kepada TUHAN dan mereka percaya kepada TUHAN dan kepada Musa, hamba-Nya itu.’ (Keluaran 14:26-31) …

AKIBATNYA

“Ketika orang-orang Ibrani menyaksikan karya Allah yang luar biasa dalam pembinasaan orang-orang Mesir, mereka pun bersatu dalam sebuah nyanyian yang penuh inspirasi, penuh kefasihan yang agung dan pujian yang penuh syukur. Miriam, saudara perempuan Musa, seorang nabiah, memimpin para wanita dalam musik.

“‘Pada waktu itu Musa bersama-sama dengan orang Israel menyanyikan nyanyian ini bagi TUHAN yang berbunyi: “Baiklah aku menyanyi bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur, kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut. TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia. TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya. Kereta Firaun dan pasukannya dibuang-Nya ke dalam laut; para perwiranya yang pilihan dibenamkan ke dalam Laut Teberau. Samudera raya menutupi mereka; ke air yang dalam mereka tenggelam seperti batu. Tangan kanan-Mu, TUHAN, mulia karena kekuasaan-Mu, tangan kanan-Mu, TUHAN, menghancurkan musuh. Dengan keluhuran-Mu yang besar Engkau meruntuhkan siapa yang bangkit menentang Engkau; Engkau melepaskan api murka-Mu, yang memakan mereka sebagai tunggul gandum. Karena nafas hidung-Mu segala air naik bertimbun-timbun; segala aliran berdiri tegak seperti bendungan; air bah membeku di-tengah-tengah laut. Kata musuh: Aku akan mengejar, akan mencapai mereka, akan membagi-bagi jarahan; nafsuku akan kulampiaskan kepada mereka, akan kuhunus pedangku; tanganku akan melenyapkan mereka! Engkau meniup dengan taufan-Mu, lautpun menutupi mereka; sebagai timah mereka tenggelam dalam air yang hebat.

“‘Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban? Engkau mengulurkan tangan kanan-Mu; bumipun menelan mereka. Dengan kasih setia-Mu Engkau menuntun umat yang telah Kautebus; dengan kekuatan-Mu Engkau membimbingnya ke tempat kediaman-Mu yang kudus. Bangsa-bangsa mendengarnya, merekapun menggigil; kegentaran menghinggapi penduduk tanah Filistin. Pada waktu itu gemparlah para kepala kaum di Edom, kedahsyatan menghinggapi orang-orang berkuasa di Moab; semua penduduk tanah Kanaan gemetar. Ngeri dan takut menimpa mereka, karena kebesaran tangan-Mu mereka kaku seperti batu, sampai umat-Mu menyeberang, ya TUHAN, sampai umat yang Kauperoleh menyeberang. Engkau membawa mereka dan Kaucangkokkan mereka di atas gunung milik-Mu sendiri; di tempat yang telah Kaubuat kediaman-Mu, ya TUHAN; di tempat kudus, yang didirikan tangan-Mu, ya TUHAN.

“‘TUHAN memerintah kekal selama-lamanya.” Ketika kuda Firaun dengan keretanya dan orangnya yang berkuda telah masuk ke laut, maka TUHAN membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut. Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.’ (Keluaran 15).” —The Spirit of Prophecy, vol. 1, hlm. 208-212.

KESIMPULAN

Penyeberangan Laut Merah lebih dari sekadar pelarian ajaib dari bahaya. Penyeberangan itu merupakan simbol kuasa, kesetiaan, dan pemeliharaan Allah bagi umat-Nya. Peristiwa itu merupakan momen pembebasan yang menentukan. Melalui Musa, Allah menunjukkan kepada bangsa Israel bahwa Ia sanggup mengatasi rintangan apa pun, bahkan yang sedahsyat laut sekalipun. Tindakan pembebasan ini merupakan demonstrasi yang jelas bahwa Allah menyertai umat-Nya, membimbing mereka ke tanah perjanjian. Peristiwa ini sering dianggap sebagai pertanda baptisan. Sebagaimana bangsa Israel menyeberangi air untuk memasuki hidup baru yang penuh kebebasan, baptisan melambangkan perjalanan orang percaya dari dosa dan maut menuju hidup baru di dalam Kristus.

Bagi bangsa Israel, penyeberangan Laut Merah menandai berakhirnya perbudakan mereka di Mesir dan awal perjalanan mereka menuju bangsa yang merdeka dan berdaulat. Peristiwa ini meneguhkan iman mereka akan janji-janji Allah dan menjadi momen yang menentukan dalam ingatan mereka.

“Pelajaran berharga yang diajarkan di sini berlaku untuk selamanya. Seringkali, kehidupan Kristen diliputi bahaya, dan tugas terasa sulit dilaksanakan. Imajinasi pikiran membayangkan kehancuran yang akan datang di depan dan perbudakan atau kematian di belakang. Namun suara Tuhan berbicara dengan jelas, “Majulah.” Kita harus menaati perintah ini, meskipun mata kita tak mampu menembus kegelapan, dan kita merasakan gelombang dingin di sekitar kaki kita. Rintangan yang menghalangi kemajuan kita tak akan pernah lenyap di hadapan jiwa yang ragu dan bimbang. Barangsiapa yang menunda ketaatan hingga setiap bayangan ketidakpastian lenyap dan tak tersisa risiko kegagalan atau kekalahan, tak akan pernah taat sama sekali. Ketidakpercayaan selalu berbisik, “Mari kita tunggu sampai rintangan disingkirkan, dan kita dapat melihat jalan kita dengan jelas;” tetapi iman dengan berani mendesak untuk maju, berharap segala sesuatu, dan percaya segala sesuatu.

“Awan yang menjadi dinding kegelapan bagi orang Mesir, adalah kelimpahan cahaya terang yang besar bagi orang Ibrani, yang menerangi seluruh perkemahan, dan yang memancarkan terang ke jalan di depan mereka. Maka, tindakan Tuhan yang nampak mendatangkan kegelapan dan keputusasaan bagi orang yang tidak percaya, sementara bagi jiwa yang percaya, tindakan-tindakan itu dipenuhi dengan terang dan damai. Jalan yang dipimpin Tuhan mungkin terbentang melalui padang gurun atau lautan, tetapi itu adalah jalan yang aman.” —Patriarchs and Prophets, hlm. 290.

Kepada Dia yang membelah Laut Teberau menjadi dua belahan; bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Dan menyeberangkan Israel dari tengah-tengahnya; bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Dan mencampakkan Firaun dengan tentaranya ke Laut Teberau! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Mazmur 136:13-15.

Kiranya rahmat Tuhan menyertaimu. Amin!

Bacaan Minggu Sembahyang 2025 “DARI MESIR KE KANAAN (PERJALANAN BANGSA ISRAEL)”