TELADAN IMAN DALAM MEMILIH PASANGAN HIDUP
“TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah memanggil aku dari rumah ayahku serta dari negeri sanak saudaraku, dan yang telah berfirman kepadaku, serta yang bersumpah kepadaku, demikian: kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri ini — Dialah juga akan mengutus malaikat-Nya berjalan di depanmu, sehingga engkau dapat mengambil seorang isteri dari sana untuk anakku.” Kejadian 24:7.
“Pernikahan adalah hal yang serius, dan tidak boleh dilakukan dengan cara yang gegabah dan tanpa pertimbangan yang matang…” 9LtMs, Ms 105, 1894, par. 1.
“Iman Abraham yang teguh kepada Allah dan ketaatannya kepada kehendak-Nya tercermin dalam tabiat Ishak; tetapi kasih sayang pemuda itu kuat, dan ia lembut serta mudah terbujuk. Jika menikah dengan seseorang yang tidak takut akan Allah, maka ia akan berada dalam bahaya mengorbankan prinsip demi keharmonisan. Dalam pikiran Abraham, pemilihan istri untuk putranya ini adalah masalah yang sangat penting; ia ingin putranya menikah dengan seseorang yang tidak akan menjauhkannya dari Allah.” PP 171.1.
“Ishak, dengan mengandalkan hikmat dan kasih sayang ayahnya, merasa puas untuk menyerahkan masalah itu kepada ayahnya, juga percaya bahwa Allah sendiri yang akan membimbing pilihan yang hendak dibuat.” PP 171.3.
“Abraham telah memperhatikan hasil perkawinan campur antara orang-orang yang takut akan Allah dengan orang-orang yang tidak takut akan Dia, dari zaman Kain hingga zamannya sendiri…” PP 173.5.
“Tidak seorang pun yang takut akan Allah dapat tanpa bahaya bila menjalin hubungan dengan orang yang tidak takut akan Dia. “Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji (sepakat)?” Amos 3:3. Kebahagiaan dan kemakmuran hubungan pernikahan adalah bergantung pada kesatuan kedua belah pihak; tetapi antara orang percaya dengan orang yang tidak percaya terdapatlah perbedaan mendasar dalam hal selera, kecenderungan, dan tujuan. Mereka melayani dua tuan, yang di antara mereka tidak mungkin ada keselarasan. Betapapun murni dan benarnya prinsip seseorang, pengaruh teman yang tidak percaya akan cenderung menjauhkannya dari Allah.” PP 174.3.
“Orang yang telah terlanjur memasuki hubungan pernikahan sebelum bertobat, terikat kewajiban yang lebih besar untuk setia kepada pasangannya, karena pertobatannya, betapapun jauhnya perbedaan keyakinan agama mereka; namun kehendak Allah harus yang diutamakan di atas setiap hubungan duniawi, meskipun cobaan dan penganiayaan mungkin menjadi akibatnya. Dengan semangat kasih dan kelemahlembutan, kesetiaan ini dapat berpengaruh untuk memenangkan orang yang tidak percaya. Tetapi pernikahan orang Kristen dengan orang yang tidak saleh adalah dilarang dalam Alkitab. Petunjuk Allah adalah, “Janganlah kamu berpasangan dengan orang-orang yang tidak percaya.” 2 Korintus 6:14, 17, 18 KJV.” PP 175.1.
“Ishak sangat dihormati oleh Allah karena merupakan pewaris janji-janji yang melaluinya dunia akan diberkati; namun ketika ia berusia empat puluh tahun, ia tunduk pada keputusan ayahnya dalam menunjuk hambanya yang berpengalaman dan takut akan Allah untuk memilihkan istri baginya. Dan hasil dari pernikahan itu, sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab, adalah gambaran kebahagiaan rumah tangga yang lembut dan indah…” PP 175.2.
“Jika ada suatu hal yang harus dipertimbangkan dengan cermat, dan di mana nasihat dari orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman harus dicari, itu adalah hal tentang pernikahan; saat dimana Alkitab sangat dibutuhkan sebagai penasihat, dan bimbingan ilahi perlu dicari dalam doa, adalah saat sebelum mengambil langkah yang mengikat orang untuk bersama seumur hidup.” PP 175.4.
“Barangsiapa yang mengaku benar ternyata menginjak-injak kehendak Allah dengan menikahi orang yang tidak percaya; maka mereka kehilangan kasih karunia-Nya dan membuat pekerjaan pertobatan menjadi pahit. Orang yang tidak percaya mungkin saja memiliki karakter moral yang sangat baik; tetapi kenyataan bahwa ia belum memenuhi kehendak Allah, dan telah mengabaikan keselamatan yang begitu besar nilainya, merupakan alasan yang cukup mengapa persatuan seperti itu tidak boleh terjadi. Tabiat orang yang tidak percaya demikian mungkin saja justru mirip dengan tabiat pemuda yang kepadanya Yesus berkata, “Satu hal yang kurang padamu;” dan satu hal itu adalah hal yang dibutuhkan.” 4T 505.1.
“Kita sedang hidup di zaman akhir, ketika kegilaan tentang masalah pernikahan merupakan salah satu tanda kedatangan Kristus yang mendekat… Konsekuensi buruk dari pernikahan yang buruk tidaklah terhitung jumlahnya… Ratusan orang telah mengorbankan Kristus dan surga sebagai akibat dari menikahi orang yang belum bertobat…” 4T 503.3, 4T 507.2.
“The LORD God of heaven, which took me from my father’s house, and from the land of my kindred, and which spake unto me, and that sware unto me, saying, Unto thy seed will I give this land; he shall send his angel before thee, and thou shalt take a wife unto my son from thence.” Genesis 24:7 (KJV).
“Marriage is a serious thing, and should not be entered upon in a thoughtless and reckless way…” 9LtMs, Ms 105, 1894, par. 1.
“Abraham’s habitual faith in God and submission to His will were reflected in the character of Isaac; but the young man’s affections were strong, and he was gentle and yielding in disposition. If united with one who did not fear God, he would be in danger of sacrificing principle for the sake of harmony. In the mind of Abraham the choice of a wife for his son was a matter of grave importance; he was anxious to have him marry one who would not lead him from God.” PP 171.1.
“Isaac, trusting to his father’s wisdom and affection, was satisfied to commit the matter to him, believing also that God Himself would direct in the choice made.” PP 171.3.
“Abraham had marked the result of the intermarriage of those who feared God and those who feared Him not, from the days of Cain to his own time…” PP 173.5.
“No one who fears God can without danger connect himself with one who fears Him not. “Can two walk together, except they be agreed?” Amos 3:3. The happiness and prosperity of the marriage relation depends upon the unity of the parties; but between the believer and the unbeliever there is a radical difference of tastes, inclinations, and purposes. They are serving two masters, between whom there can be no concord. However pure and correct one’s principles may be, the influence of an unbelieving companion will have a tendency to lead away from God.” PP 174.3.
“He who has entered the marriage relation while unconverted, is by his conversion placed under stronger obligation to be faithful to his companion, however widely they may differ in regard to religious faith; yet the claims of God should be placed above every earthly relationship, even though trials and persecution may be the result. With the spirit of love and meekness, this fidelity may have an influence to win the unbelieving one. But the marriage of Christians with the ungodly is forbidden in the Bible. The Lord’s direction is, “Be ye not unequally yoked together with unbelievers.” 2 Corinthians 6:14, 17, 18.” PP 175.1.
“Isaac was highly honored by God in being made inheritor of the promises through which the world was to be blessed; yet when he was forty years of age he submitted to his father’s judgment in appointing his experienced, God-fearing servant to choose a wife for him. And the result of that marriage, as presented in the Scriptures, is a tender and beautiful picture of domestic happiness…” PP 175.2.
“If there is any subject which should be carefully considered and in which the counsel of older and more experienced persons should be sought, it is the subject of marriage; if ever the Bible was needed as a counselor, if ever divine guidance should be sought in prayer, it is before taking a step that binds persons together for life.” PP 175.4.
“Those who profess the truth trample on the will of God in marrying unbelievers; they lose His favor and make bitter work for repentance. The unbelieving may possess an excellent moral character; but the fact that he or she has not answered to the claims of God, and has neglected so great salvation, is sufficient reason why such a union should not be consummated. The character of the unbelieving may be similar to that of the young man to whom Jesus addressed the words, “One thing thou lackest;” that was the one thing needful.” 4T 505.1.
“We are living in the last days, when the mania upon the subject of marriage constitutes one of the signs of the near coming of Christ … The evil consequences of poor marriages are numberless … Hundreds have sacrificed Christ and heaven in consequence of marrying unconverted persons…” 4T 503.3, 4T 507.2.***